Wednesday 24 August 2011

ASWAJA


AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah; secara etimologi (bahasa): Ahlun (kelompok, golongan, keluarga), as Sunnah (ajaran Nabi; sabda, perbuatan dan ketetapan), wal Jama’ah (golongan mayoritas / sawadul a’dlom). Secara terminologi (istilah): maa anaa ‘alaihil yauma wa ashaaby / ajaran Islam (murni) sebagaimana yang diajarkan dan di amalkan Rasululloh saw dan para sahabat a.s. Menurut K.H Ahmad Siddiq, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasululloh saw bersama para sahabatnya pada zaman itu. Dasar hukum dan landasan Ahlus Sunnah wal Jama’ah:
1.      Al-Qur’an (al-atsarul Qodimu) dan Al-Hadist, hadist yaitu sebuah pelaporan dan pembukuan as-Sunnah / sunnatun nabiyyi. Keduanya adalah dasar hukum nash (syari’at Islam) yang qoth’i / pasti.
2.      Sunnah para sahabat a.s, berdasarkan sabda Rosululloh saw: ‘alaikum bi sunnatii wa sunnatil khulafaaur rhosyidiin almuhtadiin (H.R Abu Daud dan Turmudzi), artinya: wajib atas kamu sekalian untuk berpegang teguh pada sunnahku (Nabi), dan sunnah para Khulafaur rhosyidin (abu Bakar, Umar, ‘Ustman dan ‘Ali a.s) yang telah diberi petunjuk (oleh Allah SWT).
3.      Ijma’ (kesepakatan), artinya kesepakatan para ‘ulama (pewaris ajaran para sahabat), terutama dalam masalah khilafiah (perbedaan pendapat), dengan metode sawaadul a’dlom, artinya memilih pendapat kebanyakan orang (‘ulama) dalam sebuah pendapat, kemudian tidak terlepas untuk mengikuti madzahibul arba’ah (madzhab empat / empat imam), adalah orang yang telah jelas dibenarkan untuk diikuti karena hasil ijtihadnya / usaha untuk menemukan dan menggali hukum Islam / fiqih, yaitu imam Hanafi, imam Maliki, imam Syafi’I dan imam Hambali.
Setiap madzhab / imam tersebut mempunyai metode yang relevan (ushul fiqih), dalam ijtihad untuk menggali dan menemukan hukum Islam / syar’i. Dalam ijtihad para imam tersebut juga tak bisa lepas dari penggunaan al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber hukum dalam ijtihad, bukan sebagai metode hukum.
Dan setelah mereka (madzab empat) dinyatakan pintu ijtihad telah ditutup, dalam arti memang hanya pada zaman merekalah ijtihad yang secara murni dan obyektif bisa ditetapkan (fiqih) secara obyektif karna kurun waktu yang memungkinkan mereka untuk muroja’ah (referensi) dan muqobalah (perbandingan) pada zaman itu. Sehingga mereka (madzhab empat) disebut juga sebagai tabi’in (pengikut para sohabat Nabi saw). Madzhab bisa diartikan jalan hidup, idiologi dan metode.
Pada zaman dewasa ini muncul golongan “pembaharu” (golongan pemikir Islam yang menyatakan ingin mengembalikan ajaran Islam secara murni berlandaskan Qur’an dan Hadist saja) mengklaim tehadap golongan tradisional (istilah berdasarkan milliu pada zaman itu), bahwa golongan tradisional telah menjadikan kaum muslim kaku dan tidak berkembang dalam merespon hukum Islam pada era masa kini, terutama dalam masalah – masalah yang baru (tidak dijelaskan dalam Qur’an dan hadist) sehingga golongan pembaharu menyebutnya bid’ah dlolalah (hal baru yang menjerumuskan / salah).
Ini sangatlah salah bila mereka mengklaim secara subyektif dan formal saja, bila dipandang secara obyektif dan essensialnya jelas bahwa pintu ijtihad (fiqih) memang telah ditutup, namun masih banyak pintu ijtihad (penelitian study Islam/ reset) yang jelas masih terbuka dan amat sangat penting untuk dipelajari, digali dan ditemukan. Pada hakekatnya khilafiah / perbedaan pendapat ‘ulama adalah rahmat, dalam arti bahwa sesungguhnya manusia biasa setelah madzahibul arba’ah tidak akan mampu menguasai ilmu Al-Qur’an secara terperinci dan garis besar, apalagi sulitnya untuk mendalami semua ilmu yang berkaitan dengan Al-Hadist. Makanya amat sangat tidak mudah mendapatkan gelar Mujtahid Aula / madzhab empat tersebut. Bukannya tidak mungkin, namun memang pada kenyataannya / faktanya secara eksistensi (sejarah) belum ada yang bisa menandingi imam empat tersebut. Ini adalah alasan mengapa pintu ijtihad (fiqih) telah ditutup.  Bukan pintu ijtihad yang diartikan study Islam, yang semestinya masih tetap sangat diperlukan, karena memang secara kontekstual masih banyak masalah – masalah baru dalam Islam yang masih perlu dipelajari, digali dan ditemukan (research/reset).
Sebenarnya yang menjadi masalah antara golongan tradisional dan pembaharu dalam menyikapi arti “pintu ijtihad telah ditutup”, cuma dalam kontek bahasa (misscommunicated) saja, yaitu mengartikan “Ijtihad” itu sendiri. Yang jelas Ijtihad dalam arti fiqih telah ditutup karna ruang dan waktu, kemudian Ijtihad dalam arti penggalian hukum kembali (penelitian / reset) masih sangat terbuka wahai kawand muslimin. Ketika ada masalah baru yang tidak dijelaskan secara pasti (qoth’i) dalam al-Qur’an dan al-Hadist, kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengikuti para sahabat, tabi’in dan tabi’ith thabi’iin, yaitu metode sawadul a’dlom tadi low. Faham? Ini dasarnya sabda Nabi saw: inna ummatii laa tajtami’u ‘aladl dlolaalati abadan, fa idzaa roaitumukh tilaafan fa’alaikum bis sawaadil a’dlom. (H.R Abu Daud). Sesungguhnya umatku tidak mungkin sepakat dalam kesesatan, apabila kamu menemukan perselisihan, maka ikutlah golongan mayoritas.
Ada lagi golongan cendekia Islam yang menrefleksikan tentang fenomena ini dan dirumuskan dalam kaidah ushul fiqih (ilmu untuk fiqih) selain Al-Qur’an, Al-Hadist dan ajaran para sahabat, yaitu: qiyas (metode penyamaan hukum karena sebab / ‘illatnya), al-mashlahatul mursalah (metode hukum berdasarkan kemaslahatan), al-‘aadatu muhakkamatun (metode hukum berdasarkan kebiasaan / adat yang tidak bertentangan dengan syar’i, dan masih banyak lagi.
Dalam hadist Nabi saw, dinyatakan bahwasannya Islam akan terpecah kedalam 73 golongan, dan hanya 1 golongan yang akan selamat, yaitu golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Ahmad Amin, mengatakan aswaja (ahlus sunnah wal jama’ah) adalah sebagai golongan yang percaya pada hadits – hadits shahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi.
Harun Nasution (professor Islami) mengidentifikasikan ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah teologi dimasukkan sebagai kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidiyah dan yang lain Salafiyah. Dalam lapangan fiqih kebanyakan kaum Asy’ariayah bermadzhab Syafi’I, dan kaum Salafiyah bermadzhab Hambali. Sedangkan dalam Tasawwuf yang dapat diterima oleh umumnya ‘ulama sunny adalah Tasawwuf Ghazali (imam Ghozali).
Al-Bagdadi (ilmuan islam) adalah seorang ahlus sunnah wal jama’ah yang ahli dalam hal aliran dan golongan Islam, memperluas arti kandungan ahlus sunnah wal jama’ah meliputi bukan hanya lapangan teologi, tetapi juga madzab – madzhab fiqih dan lapangan – lapangan keilmuan Islam lainnya yang tidak bersangkutan dengan faham Mu’tazilah dan faham – faham lainnya.
Golongan Ahlus sunnah wal jama’ah juga sering disebut sebagai “Ahlussunnah wal istiqomah”, artinya pemegang tradisi Nabi dan sahabat, dan jalan lurus / jalan tengah. Ini alasan yang sesungguhnya penyebutan terhadap golongan “Tradisional” tadi, bukan alas an karena arti tradisi yang monoton atau kaku.
Tanbih! Perlu diperhatikan wahai kaum muslimin, sebagai penulis, saya mencoba memberikan wacana tentang ahlus sunnah wal jama’ah / ASWAJA yang dinamis, meski Cuma sebatas yang tertera diatas, namun akan saya terus berusaha memosting tentang ASWAJA (kesinambungan konten) dan ajaran – ajarannya. Pelajari aliran dan golongan secara real dan radix (mendalam), bukan karna pandangan golongan / aliran dalam dinamika politik, sosial maupun budaya, okey.
Wahai kaum muslimin, sudah menjadi kewajiban kita (qoth’i) untuk masuk kedalam Islam secara “kaffah”/ totalitas, baik secara formal maupun essensial, terperinci maupun globlal, dunyawiyah maupun ukhrowiyah, hak maupun kewajiban dan segalanya secara luas. Ini arti sebuah keseimbangan. Yaitu untuk menjadi seorang muslim sejati tentu harus dengan ilmu dan iman (keyakinan) agar terwujud ketakwaan yang ikhlas (tak terbatas). Yakni perlu mendalami Islam tidak hanya dari formalitas saja, contoh seperti melakukan ibadah saja karna dalih pemenuhan kewajinban. Namun kita perlu sadar bahwa kita tidak mungkin beragama Islam kalo ortu kita tidak Islam, kita bisa jadi beragama Kristen setelah lahir karna pengaruh ortu kita yang beragama Kristen, inilah nikmat dan hikmahnya. Akan jelas siapa yang memeluk sebuah agama dengan taklid (pengaruh orla / sekedar formalitas) atau dengan I’tiqat (kekuatan iman), keikhlasan (semua karna Allah semata) dan ilmu (yang diperintahkan = wajib). Untuk itu kita diwajibkan menuntut segala ilmu yang berguna dan positif, terlebih – lebih ilmu agama, baik secara terperinci (al-Qur’an; bahasa tarjim, nahwu shorof, mantiq dan balaghoh kaidah bahasa arab, tafsir, asbabun nuzul, ilmu qiroatil qur’ani, Hadits; ilmu hadits, mustholahul hadits, asbabul wurud,  fiqih; ushul fiqih, bahasa, kalam / teologi, akhlak dlsb) maupun global (contoh; adyan: agama-agama, filsafat, ilmu pengetahuan umum, study Islam, siyasah / politik, ekonomi, budaya dlsb) ketika semua memang dibutuhkan dan positif, untuk keseimbangan. Secara garis besar sebelum kita meyakini (iman) terhadap sesuatu kita akan lebih dikuatkan (iman kita) dengan mendalaminya secara formal, essensi, tekstual, kontekstual, eksistensi dan konten- konten ataupun literature yang dinamis.
Barang siapa menginginkan dunia maka (wajib) baginya untuk menuntut ilmu dunia, barang siapa menginginkan akhirat maka (wajib) baginya untuk menuntut ilmu akhirat, dan barang siapa menginginkan keduanya (dunia akhirat) maka (wajib) baginya untuk menununtut ilmu dunia akhirat. Wallahu A’lam bis showaab. Semoga bermanfaat, kesalah memang dari diri penulis dan kebenaran adalah (haq) dari Allah SWT. To be continue….

No comments:

Post a Comment